o
Era
globalisasi menuntut manusia untuk berpikir cerdas dalam melakukan
inovasi-inovasi yang dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Tak
terkecuali inovasi dalam pemanfaatan bahan-bahan pengganti bahan bakar minyak
(BBM) yang belakangan harganya terus melambung di pasaran dunia.
gambar 1.1 |
Salah
satu yang dikedepankan adalah penggunaan bioetanol, sebuah bahan bakar nabati
(BBN) yang berasal dari bahan-bahan bergula atau berpati, seperti tetes tebu,
nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya.
Bioetanol yang berasal dari bahan-bahan bergula, termasuk yang berkualitas
terbaik di dunia.
Indonesia,
melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mencoba menerapkan inovasi
tersebut dengan melakukan pembudidayaan tanaman sorgum. Sebagai tanaman
serealia (biji-bijian), sorgum memiliki manfaat yang multiguna. Selain bijinya
digunakan sebagai bahan pangan, batang dan daunnya untuk pakan ternak, gula
yang terkandung dalam biji (karbohidrat) atau cairan/jus/nira batang (sorgum
manis) pun dapat diproses menjadi etanol (bioetanol).
"Tanaman
sorgum memiliki produksi biji dan biomassa yang jauh lebih tinggi dibanding
tanaman tebu. Adaptasi sorgum pun jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum
dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan
marjinal," kata Kepala Pusat Inovasi LIPI, Bambang Subiyanto, di Cibinong,
Bogor, Rabu (13/2).
Sebagai
tahap awal, lanjut Bambang, LIPI akan menggunakan lahan kosong seluas 1 hektare
(ha) yang terletak di kawasan riset mereka yang berada di daerah Cibinong,
Bogor. Luas ini akan bertambah seiring dengan kesuksesan penanaman sorgum.
"Selanjutnya,
untuk tahun ini, sorgum akan ditanam di sejumlah wilayah di Indonesia atas
kerja sama dengan PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) pada areal 1.000 ha,
antara lain di Lampung, Surabaya, Sulawesi, dan Yogyakarta dengan produksi 100
ton/ha/tahun," jelas Bambang dengan antusias.
Dalam
rangka mengoptimalkan industri bioetanol, diperlukan lahan untuk perkebunan
sorgum manis yang luas. Pertanaman harus dilakukan sepanjang tahun, dan
sebaiknya tidak memanfaatkan lahan-lahan yang merupakan lahan pertanaman
pangan.
Dengan
asumsi produktivitas sorgum dalam menghasilkan bioetanol sebesar 2.000?3.500
liter/ha/musim tanam atau 4.000?7.000 liter/ha/tahun (di Indonesia bisa tanam
dua musim), untuk menghasilkan 60 juta kiloliter per tahun bioetanol akan
diperlukan lahan seluas 15 juta ha.
Tetapi
mennurut saya “walapun bioetanol sudah dikembangkan namun ituh semua
membutuhkan dana yang besar dalam penanaman, perawatan sorgum tersebut. Namun
ada satu lagi bahan yang nantinya bisa menggantikan BBM, yaitu air mani.
gambar 1.2 |
pada tahun 2006, Awal untuk mengambil
kekuatan “si kuning”, mereka
telah mengembangkan teknologi yang dapat memisahkan air dari urin di toilet.
Teknologi ini dikembangkan Dr. Jac Wilsenach. Gelar doktornya dia dapat dari
Universitas Delft.
“Kita harus melihat urin sebagai sumber daya
ketimbang limbah,” begitu kata Wilsenach yang kini bekerja
sebagai peneliti senior CSIR Natural Resources and Environment.
Menurut
dia, sebagai limbah kebanyakan urin mengandung 80 persen nitrogen, 50 persen
fosfat, dan 70 persen potasium. Untuk memisahkan zat-zat itu dari air urin
diperlukan toilet pemisah khusus. Maka, dia pun menciptakan toilet spesial yang
diberi nama “NoMix.”
Kendalanya, untuk mendapat bahan baku urin segar, jutaan rumah harus dibuat
untuk mengganti toilet lama mereka dengan Nomix. Ini tentu bukan pekerjaan
mudah.
Wilsenach
tak hilang akal. Bekerja sama dengan pemerintah lokal, dia akan memasang “NoMix” di tempat-tempat
umum: di blok perkantoran, sekolah, mal, dan bandara. Di area publik itu urin
melimpah ruah, dan selama ini terbuang percuma. Dari situlah terbuka lebar
untuk memproduksi energi alternatif dari urin jadi terbuka lebar.
Berita
dahsyat itu pertama kali disiarkan oleh Radio Nederland. Para ilmuwan
Negeri Oranye telah berhasil menguji kekuatan si “air
kuning”. Kabarnya, hasilnya amat menjanjikan.
Adalah
Universitas Teknologi Delft dan lembaga penelitian DHV yang mengembangkan
teknologi pemrosesan urin ini. Baru-baru ini, mereka berhasil mendaftarkan
paten temuan ini di China, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa. “Kami
memproses urin yang dikumpulkan secara konvensional dan kimiawi,” kata
Andreas Glesen, Manajer Inovasi DHV Research.
Menurut
Thiss Westerbeek, jurnalis Radio Nederland di Belanda, bahan bakar urin ini
telah memasok energi setara 110 ribu Megawatt di 30 ribu rumah atau seluas satu
kota kecil. Jika produksi urin ditingkatkan, para periset memprediksi daya yang
dipasok bisa digenjot hingga lima kali lipat untuk jumlah rumah yang sama. Dan
ini yang terpenting, tak cuma bisa dipakai untuk memasak, “energi
kuning” ini dapat digunakan sebagai BBM alternatif
untuk menggerakkan mobil bertenaga listrik.
Proses
mengubah urin menjadi sumber energi alternatif ini cukup “sederhana”. Air
seni mengandung senyawa amonia. Jika dipanaskan secara perlahan, urin akan
berubah menjadi gas amonia. Gas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sel bahan
bakar (fuel cell), sejenis generator, dan kemudian digunakan untuk memproduksi
energi lisrik.
Jika
pasokan urin dijaga selalu tersedia, energi listrik pun bisa diproduksi
terus-menerus, setiap saat. Inilah keunggulan teknologi ini dengan energi yang
dikonversi dari angin dan matahari, yang amat bergantung pada kondisi alam.
Sudah
begitu, bahan sisa pemrosesan urin, asam fosfat, juga bisa digunakan untuk
membuat pupuk urea yang tak berbahaya karena tak mengandung bahan kimia.
Amerika
Serikat
Diam-diam,
teknologi ini tak hanya dikembangkan di Belanda, tapi juga di sejumlah negara
lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Meksiko, dan Skotlandia.
Di
Amerika Serikat, pelopornya adalah Profesor Gerardine Botte dari Universitas
Ohio. Pada tahun 2009, ia melihat ada tiga kelemahan dalam bahan bakar fosil.
Pertama, tidak bisa atau sulit diperbarui. Kedua, proses eksplorasinya butuh
biaya besar. Dan ketiga, emisi gasnya terbukti menyebabkan peningkatan
pemanasan global.
Dia juga
melihat kelemahan bahan bakar hayati (bio-fuel). Sebab, di masa depan ini akan
menyebabkan perebutan antara kebutuhan akan makanan dan bahan bakar.
Maka,
dia pun melirik urin. Dia melihat kemungkinan urin menjadi sumber energi masa
depan buat kendaraan berbahan bakar hidrogen.
Botte
melihat urea adalah zat terbanyak di urin. Urea itu merupakan sumber potensial
untuk dikonversi jadi hidrogen. Lantas, dia memanfaatkan teknologi elektrolit
untuk menghasilkan hidrogen dari air seni. Setiap molekul urin mengandung empat
atom hidrogen. Jumlah ini lebih banyak dibanding hidrogen yang dikandung air.
Dalam perhitungannya, seperti dikutip wired.com, mengolah hydrogen dari urin
lebih efisien biayanya ketimbang dari air. Listrik yang digunakan juga hanya 0,37
volt, sementara dari air memerlukan 1,23 volt.
Urin
juga melimpah. Saban hari setiap orang mengeluarkan urin sebanyak 0,9 sampai
1,5 liter per hari. Kalikan saja dengan jumlah penduduk dunia yang berkisar 7
miliar. Dengan demikian, tersedia 7 miliar liter urin segar setiap hari untuk
dikonversi menjadi hidrogen.
Kini,
Botte tengah difasilitasi Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk membuat
kendaraan tempur ringan berbahan bakar hidrogen dari urin. “Dengan
demikian, tentara di lapangan bisa membawa BBM-nya sendiri,” kata
Botte seperti dikutip Discovery News. Itu bukan guyonan, karena memang bisa
jadi persoalan serius di medan perang yang sulit, seperti gurun atau hutan.
DAFTAR
PUSTAKA :
Penggunaan
Bioetanol sebagai pengganti BBM, dikutip dalam blog pribadi abarky:
penggunaan
urin sebagai pengganti BBM dikutip dalam blog pribadi Putra Zulfitriansyah:
gambar 1.1, diambil dari blog pribadi norman phalevi, pada maret 2013:
gambar 1.2 diambil pada maret 2013 :